Twitter

Guru Mestinya Optimis Menentukan KKM Tinggi

Posted by Gustina Intan Tamara - -


Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam istilah penilaian pendidikan merupakan titik terendah kejaran yang ditetapkan untuk menjadi target sehingga kita benar-benar mengakumulasikan segenap kekuatan dan kemampuan untuk mencapai titik tersebut. Eskalasi usaha yang timbul itulah yang menjadi secercah harapan seberapa tujuan pendidikan akan tercapai. Seberapa kemungkinan dunia pendidikan dinegeri tercinta ini maju.
Pertanyaan yang timbul adalah sudahkah KKM yang kita tentukan memberikan harapan kemajuan bagi negeri ini? Adakah KKM yang kita tentukan menimbulkan gairah berupaya untuk menyingsingkan lengan baju bekerja keras, sistematis dan berkesinambungan? Atau justru kita buat KKM yang sama sekali tidak memotivasi sehingga kekuatan dan kemampuan yang adapun tidak diberdayakan maksimal.
Mungkin kita dapat merepleksi semuanya. Pada saat ini tidak sedikit tapi tidak terlalu banyak “mindset” guru yang sudah merasa cukup “lunas” bekerja ketika sudah merencanakan pembelajaran, melaksanakannya, mengevaluasi, mengadakan perbaikan pengayaan sekedarnya kemudian menilai dan menaruh nilai itu pada daftar nilai. Bahkan tidak sedikit yang melenyapkan beberapa fase, yang penting menelorkan nilai pada daftar nilai. Padahal semestinya harus tertanam pemikiran bahwa tugas guru adalah membuat siswa menjadi hebat dalam materi apapun yang dibahasnya.
Untuk menjadi hebat mungkinkah dengan KKM yang 60% saja? Sepertinya 75% pun hanya membuat siswa kita biasa-biasa saja. Untuk hebat minimal 90% bahkan 100%. Kenapa tidak? Itu sasaran, itu target, hanya dengan target dan sasaran itulah kemungkinan segenap kemampuan indrawi ini bereaksi terpancing untuk mencurahkan segenap kemampuan dan kekuatan.
Mungkin beberapa orang dari kita berpikir bahwa itu hanya mimpi. Tidak terlalu salah memang, apabila kita tidak segera bangun. Beberapa analisis yang dijadikan patokan penetapan KKM seperti
1. Kompleksitas indikator (Kesulitan & Kerumitan)
2. Daya dukung (sarana/prasarana, kemampuan guru, lingkungan, dan biaya)
3. Intake siswa (masukan kemampuan siswa)
Itupun sepertinya dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk tidak terlalu sekenanya saja, “mengawang-ngawang” tapi kalau pada akhirnya apapun itu teori dan seberapa “jelimet” analisisnya kalau hanya menghasilkan sebuah bahu sandaran untuk dijadikan alasan dan tidak menimbulkan gairah eskalasi usaha dalam peningkatan mengajar dan belajar, sepertinya harus dikaji kembali.
Berbicara tentang kemampuan siswa seorang guru mestinya jangan melemahkan kemampuan siswa. Apalagi diri sendiri baik gurunya apalagi siswa belum apa-apa sudah merasa tidak mampu. Kita jangan sampai seperti seekor anak elang yang dierami induk ayam. Menetas, bermain dan mencari makan dengan sodara tetasnya anak ayam. Suatu saat di atas langit sana terbang seekor elang jantang dengan gagahnya. Semua anak ayam takut dan segera sembunyi diketek induknya. Anak ayam yang sebenarnya anak elang melongo dibalik bulu induk ayam sambil berkhayal betapa hebat dan gagahnya kalau dia dapat terbang melayang seperti elang di atas sana. Tapi sampai dewasa dia tidak mencoba mengepakan sayapnya sehari-harinya hanya mencakar tanah mengais-ngais cacing sampai pada akhirnya mati seperti ayam-ayam yang lain.
… … …
Semua anak mempunyai kemampuan yang sama hanya mungkin kecepatan daya tangkapnya yang berbeda. Maka strategi yang mungkin adalah pengkondisian remedial yang benar-benar matang dan sistematis. Guru sepertinya harus merencanakan alokasi remedial/perbaikan yang cukup banyak. Dan sebagai penghargaan terhadap hasil usaha mestinya nilai yang diterakan pada daftar nilai adalah nilai terakhir yang terbaik. Bagaimana dengan anak yang sudah tuntas tapi nilainya jadi dibawah yang perbaikan? Untuk itu iklim dan musimnya sekarang harus berubah kepada mereka tawarkan untuk ikut tes lagi atau puas dengan nilai sebelumnya. Dan pilihan anak adalah gambaran tingkat kecerdasan dan kecerdikan dirinya. Suasana ini akan cukup meningkatkan derap belajar bagi semua siswa baik yang lambat pun yang cepat.
Bukankah kita sudah mencoba KKM tinggi tapi hasilnya tetap rendah, sehingga untuk tahun ini kami turunkan. Mungkin ini salah satu kasus pula yang membuat kita tidak optimis. Persoalannya adalah sudahkah tahun lalu kita meremidi dengan sungguh-sungguh. Bukankah prinsip belajar tuntas mestinya jangan melanjutkan dulu sebelum mencapai target (dalam hal ini KKM) kita. Bukankah kita terbatas waktu masa harus terus menerus meremidi? Untuk itulah kita mesti mengalokasikan waktu yang cukup sepertinya seumpama untuk 12 jam maka untuk 6 jam terakhir adalah wilayah perbaikan (?).
Bukankah dan bukankah…….. … … …
Penulis menyadari semua yang biasa terjadi itulah kenyataan dan bukan tanpa kerja keras, adakalanya dengan hampir tetesan keringat darahpun titik ideal yang kita harapkan tetap sulit dijangkau dan semua itu terbentur dengan segenap persoalan lapangan yang luar biasa variatif.
Namun apabila masih mungkin barangkali ada celah yang masih belum kita dayagunakan secara maksimal. Barangkali ada peluang yang belum termanfaatkan atau justru ada kemampuan dan kekuatan yang selama ini tersembunyi diselimuti kemalasan kita sendiri.
Yang pasti kalau KKM cukup dengan angka minim yang ditenggarai harapan aman-aman saja kapan dunia pendidikan kita akan maju? GURU MESTINYA OPTIMIS UNTUK MENENTUKAN KKM YANG TINGGI

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.