Dunia ini adalah panggung sandiwara. Itulah lagu Achmad Albar, yang sangat familiar bagi kita. Namun tahukah anda, bahwa yang mengucapkan kalimat tersebut pada awalnya, adalah William Shakespeare?. Semenjak drama dan sandiwara karya Shakespeare mendunia, maka drama dan sandiwara pun menjadi kehidupan sehari-hari. ‘Hantu Shakespeare’ sudah menjadi keseharian kita, dimana dalam melakukan apapun, kita harus bersandiwara. Namun, apakah kita harus terus bersandiwara? Apakah menjadi apa adanya itu tidak mungkin? Apa latar belakang pandangan dunia ‘sandiwaraisme’ ini? Apa yang bisa menumbangkannya? Mari kita simak!
Shakespeare dan Ratu Elizabeth I
Sewaktu Ratu Elizabeth I naik tahta sebagai Ratu Inggris pada tahun 1558, negara tersebut dalam keadaan kacau balau. Dibandingkan dengan Perancis yang kaya raya misalnya, kas negara Inggris hanya sepersepuluhnya. Dibanding Spanyol, Perancis, dan Portugal, jajahan Inggris saat itu jauh lebih sedikit daripada mereka. Ratu Elizabeth mengambil langkah konsolidasi, supaya mengangkat prestise Inggris di mata internasional. Salah satu jasa dia, adalah dengan membangun angkatan laut inggris. Semenjak Inggris mengalahkan Spanyol pada perang laut tahun 1588, maka profil internasional Inggris juga semakin menanjak. Hal itu semakin jelas, sewaktu pada tahun meninggalnya Ratu Elizabeth , dan mulai bertahta pengganti Elizabeth, yaitu Raja James, di tahun 1603, akhirnya Inggris membuka koloni di Benua Amerika, yaitu di Jamestown. Dengan ini, maka Inggris menjadi negara imperialis utama dunia, bersama Spanyol, Perancis, dan Portugal. Pada waktunya nanti, di jaman Dinasti Hannover, dimana Inggris dipimpin Raja-Raja dari Jerman Utara, maka Inggris menjadi negara imperialis nomor satu di dunia, dan menyingkirkan negara lain. Di era konsolidasi imperialisme tersebut, hadirlah Shakespeare di panggung sejarah. Sebenarnya, tradisi drama Shakespearean, dengan konsolidasi imperial Inggris, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kerajaan kecil tersebut (saat itu), memang sedang mencari suatu tradisi, yang bisa menjadikannya setara dengan Perancis atau negara imperialis lain.
Rasanya drama-drama Shakespeare, seperti ‘Julius Caesar’, ‘Macbeth’, dan ‘Romeo and Juliet’ tidak perlu dikupas lagi, sebab sudah sering sekali diulas dan dipentaskan dalam berbagai interpretasi. Namun, akhirnya sejalan dengan menguatnya tradisi drama Shakespeare, akhirnya siapapun yang terpengaruh pandangan dunia tersebut, maka akan menjadikan drama dan sandiwara sebagai bagian dari hidupnya sehari-hari. Baik dalam berdiplomasi, bisnis, urusan famili, semuanya menjadi sandiwara. Sewaktu kita makan malam dengan sebuah keluarga Inggris misalnya, ‘table manner’ harus diperhatikan dengan benar. Cara megang sendok, garpu, dan cara minum semua harus benar sesuai dengan standar British. Disiplin pun mesti gaya British, dimana kekakuan akan tepat waktu dan bahkan gerak gerik tubuh sekalipun harus tepat dan benar. Drama kerajaan Inggris, yang sampai sekarang juga benar2 menjadi drama opera sabun juga (Kasus Lady Di, Camilla, dll) akhirnya menjadi santapan sehari hari. Hal itu terjadi di negara lain juga. Di Perancis, juga terkenal skandal Ratu Margot, istri Louis XIII, yang memiliki PIL, sama juga dengan Lady Di. Jika suka menonton TV BBC (British Broadcasting Corporation), maka kita akan langsung paham, bahwa debat parlemen diHouse of Commons penuh dengan tata krama dan sopan santun. Opera sabun kerajaan, Tradisi/Ritual, Table manner, sopan santun, debat parlemen dan atau tata krama, menjadi bagian dari drama dan sandiwara sehari-hari, sesuai dg pandangan dunia Shakespearean. Dramaisme tersebut juga berlaku di seluruh eropa dan jajahannya, sampai 14 Juli 1789, sewaktu revolusi Perancis meletus.
Rasanya drama-drama Shakespeare, seperti ‘Julius Caesar’, ‘Macbeth’, dan ‘Romeo and Juliet’ tidak perlu dikupas lagi, sebab sudah sering sekali diulas dan dipentaskan dalam berbagai interpretasi. Namun, akhirnya sejalan dengan menguatnya tradisi drama Shakespeare, akhirnya siapapun yang terpengaruh pandangan dunia tersebut, maka akan menjadikan drama dan sandiwara sebagai bagian dari hidupnya sehari-hari. Baik dalam berdiplomasi, bisnis, urusan famili, semuanya menjadi sandiwara. Sewaktu kita makan malam dengan sebuah keluarga Inggris misalnya, ‘table manner’ harus diperhatikan dengan benar. Cara megang sendok, garpu, dan cara minum semua harus benar sesuai dengan standar British. Disiplin pun mesti gaya British, dimana kekakuan akan tepat waktu dan bahkan gerak gerik tubuh sekalipun harus tepat dan benar. Drama kerajaan Inggris, yang sampai sekarang juga benar2 menjadi drama opera sabun juga (Kasus Lady Di, Camilla, dll) akhirnya menjadi santapan sehari hari. Hal itu terjadi di negara lain juga. Di Perancis, juga terkenal skandal Ratu Margot, istri Louis XIII, yang memiliki PIL, sama juga dengan Lady Di. Jika suka menonton TV BBC (British Broadcasting Corporation), maka kita akan langsung paham, bahwa debat parlemen diHouse of Commons penuh dengan tata krama dan sopan santun. Opera sabun kerajaan, Tradisi/Ritual, Table manner, sopan santun, debat parlemen dan atau tata krama, menjadi bagian dari drama dan sandiwara sehari-hari, sesuai dg pandangan dunia Shakespearean. Dramaisme tersebut juga berlaku di seluruh eropa dan jajahannya, sampai 14 Juli 1789, sewaktu revolusi Perancis meletus.
‘Gempa Bumi’ Revolusi Perancis terhadap Pandangan dunia Shakespearean
Kelompok borjuis Perancis merupakan kelas menengah yang baru tumbuh. Mereka bukan berasal dari kalangan bangsawan, namun berasal dari pedagang atau pekerja. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pengacara, dokter, atau pedagang. Ada tiga orang yang menonjol dari kalangan tersebut, yaitu Marat, D’anton, dan Robespierre. Walau banyak sekali pihak yang nantinya terlibat dalam perjalanan Revolusi Perancis, namun tiga orang tersebut adalah orang yang paling berpengaruh dalam menentukan jalannya revolusi. Tradisi kaum borjuis Perancis, sangat berbeda dengan dramaisme Shakespearean. Dalam perspektif mereka, kebenaran bukanlah harus dibungkus dalam serangkaian tradisi/ritual/atau drama, namun harus diperjuangkan. Memperjuangkan kebenaran tersebut, bisa juga dengan memperdebatkannya, atau dengan diskusi panjang lebar secara apa adanya. Cara lain, tentu dengan melakukan pemberontakan. Kelompok borjuis ini, memiliki kontak yang sangat ekstensif dengan para borjuis di new england, di benua Amerika. Sewaktu para borjuis new england melakukan pemberontakan melawan imperialis Inggris pada 4 Juli 1776, dan memproklamirkan negara baru, yaitu Amerika Serikat, maka para borjuis Perancis serta merta mendukung penuh. Marquis De La Fayette, merupakan salah satu borjuis Perancis yang terjun langsung dalam perang kemerdekaan Amerika Serikat (AS) melawan Inggris. Pada saat revolusi Amerika berlangsung, Thomas Jefferson, yang nantinya menjadi Presiden AS ke tiga, menjabat sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Perancis. Hubungan dekat dia dengan borjuis Perancis tersebut, yang menjadikan negara baru tersebut memperoleh dukungan internasional. Benjamin Franklin, salah satu founding father AS, juga merupakan teman dekat dari Voltaire, seorang sastrawan besar Perancis. Keberhasilan Revolusi AS tahun 1776 tersebut, yang juga mereka dukung, menjadikan para borjuis Perancis berpikir, bahwa revolusi serupa juga dapat dilakukan di tanah air mereka.
Cerita sejarah lengkap revolusi Perancis, tentu saja tidak perlu dibahas disini. Tempat lain sudah membahasnya secara lengkap. Kaum borjuis, yang memang sangat terdidik dan memiliki tradisi yang berbeda dengan kerajaan, akhirnya merancang suatu coup d’etatterhadap kerajaan. Akhirnya 14 Juli 1789, rakyat Paris menyerbu penjara Bastille, dan beberapa saat setelah itu, Robespierre dkk memproklamirkan pemerintahan sementara Republik Perancis. Dalam sejarah modern Perancis, periode ini dinamakan Republik pertama (Pemerintahan Nicholas Sarkozy sekarang sudah era Republik kelima).
Semangat Revolusi Perancis, dengan semboyan mereka ‘liberte, fraternite, et egalite’ (Kebebasan, Persaudaraan, dan Persamaan) menjadi virus yang menyebar luas ke seluruh eropa. Di Jerman, pada tahun 1794, diproklamirkan Republik Koln, sesuai dengan semangat revolusi perancis. Otto von Bismarck, kanselir pertama jerman, juga termasuk figur besar yg dipengaruhi oleh semangat Revolusi Perancis, sebab ia juga terlibat pada revolusi kaum liberal jerman pada tahun 1848. Sejalan dengan bertransformasinya Perancis dari Kerajaan yang penuh tata krama dan ritual, menjadi Republik yang egaliter, maka seluruh eropa daratan mengikuti teladan yang diberikan Perancis. Jerman dan Italia juga mengikuti dalam beberapa waktu kemudian, yaitu menjadi Republik. Sementara di Rusia, kaum Bolshevik, yang juga dipengaruhi semangat revolusi Perancis, pada tahun 1917 sukses melakukan Coup d’etat terhadap Tsar, dan memproklamirkan Uni Soviet. Sampai sekarang, Rusia yang dahulunya monarki yang sangat kolot, masih tetap menjadi Republik.
Virus Revolusi Perancis ini, sangat dibenci oleh Inggris. Membayangkan bahwa kerajaan Inggris dengan semua tradisi dan ritualnya, akan disapu bersih oleh ‘anarkisme’ revolusi Perancis, merupakan hal yang sangat mengerikan bagi mereka. Untuk menjaga supaya tradisi kerajaannya tetap lestari, maka Inggris melakukan perlawanan habis-habisan terhadap ide revolusi perancis. Inggris mendukung negara yang menjadi musuh Perancis, seperti Rusia dan Prusia/Jerman. Namun, dengan berjalannya waktu, akhirnya semua sia-sia. Amerika Serikat, yang merupakan bangsa yang lahir dari kolaborasi borjuis New England dan Perancis, akhirnya menjadi negara adidaya, jauh meninggalkan Inggris. Bahkan di Perang Dunia I dan II, AS banyak sekali membantu Inggris, dalam rangka melawan Jerman. Tanpa bantuan AS, Inggris bisa saja ‘lenyap’ ditelan oleh para pasukan tempur Gothic tersebut. American English, bukan British English, menjadi bahasa bisnis internasional. Waktu membuktikan, bahwa akhirnya dunia barat dibangun oleh kerja keras para borjuis yang selalu apa adanya, bukan oleh bangsawan yang penuh ritual.
Cerita sejarah lengkap revolusi Perancis, tentu saja tidak perlu dibahas disini. Tempat lain sudah membahasnya secara lengkap. Kaum borjuis, yang memang sangat terdidik dan memiliki tradisi yang berbeda dengan kerajaan, akhirnya merancang suatu coup d’etatterhadap kerajaan. Akhirnya 14 Juli 1789, rakyat Paris menyerbu penjara Bastille, dan beberapa saat setelah itu, Robespierre dkk memproklamirkan pemerintahan sementara Republik Perancis. Dalam sejarah modern Perancis, periode ini dinamakan Republik pertama (Pemerintahan Nicholas Sarkozy sekarang sudah era Republik kelima).
Semangat Revolusi Perancis, dengan semboyan mereka ‘liberte, fraternite, et egalite’ (Kebebasan, Persaudaraan, dan Persamaan) menjadi virus yang menyebar luas ke seluruh eropa. Di Jerman, pada tahun 1794, diproklamirkan Republik Koln, sesuai dengan semangat revolusi perancis. Otto von Bismarck, kanselir pertama jerman, juga termasuk figur besar yg dipengaruhi oleh semangat Revolusi Perancis, sebab ia juga terlibat pada revolusi kaum liberal jerman pada tahun 1848. Sejalan dengan bertransformasinya Perancis dari Kerajaan yang penuh tata krama dan ritual, menjadi Republik yang egaliter, maka seluruh eropa daratan mengikuti teladan yang diberikan Perancis. Jerman dan Italia juga mengikuti dalam beberapa waktu kemudian, yaitu menjadi Republik. Sementara di Rusia, kaum Bolshevik, yang juga dipengaruhi semangat revolusi Perancis, pada tahun 1917 sukses melakukan Coup d’etat terhadap Tsar, dan memproklamirkan Uni Soviet. Sampai sekarang, Rusia yang dahulunya monarki yang sangat kolot, masih tetap menjadi Republik.
Virus Revolusi Perancis ini, sangat dibenci oleh Inggris. Membayangkan bahwa kerajaan Inggris dengan semua tradisi dan ritualnya, akan disapu bersih oleh ‘anarkisme’ revolusi Perancis, merupakan hal yang sangat mengerikan bagi mereka. Untuk menjaga supaya tradisi kerajaannya tetap lestari, maka Inggris melakukan perlawanan habis-habisan terhadap ide revolusi perancis. Inggris mendukung negara yang menjadi musuh Perancis, seperti Rusia dan Prusia/Jerman. Namun, dengan berjalannya waktu, akhirnya semua sia-sia. Amerika Serikat, yang merupakan bangsa yang lahir dari kolaborasi borjuis New England dan Perancis, akhirnya menjadi negara adidaya, jauh meninggalkan Inggris. Bahkan di Perang Dunia I dan II, AS banyak sekali membantu Inggris, dalam rangka melawan Jerman. Tanpa bantuan AS, Inggris bisa saja ‘lenyap’ ditelan oleh para pasukan tempur Gothic tersebut. American English, bukan British English, menjadi bahasa bisnis internasional. Waktu membuktikan, bahwa akhirnya dunia barat dibangun oleh kerja keras para borjuis yang selalu apa adanya, bukan oleh bangsawan yang penuh ritual.
Hikmah Cerita tersebut
Cerita diatas masih memiliki relevansi dengan bangsa kita. Para founding father kita, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta, selalu terinspirasi oleh pergolakan yang terjadi di Eropa. Mereka berdua menguasai beberapa bahasa eropa, selain Belanda dan Inggris, dan selalu berusaha membaca referensi barat dalam bahasa aslinya. Walau memiliki banyak ketidak sepahaman, Bung Karno dan Bung Hatta selalu bersahabat baik. Bahkan dimasa ketika Bung Karno memberlakukan demokrasi terpimpin, dan Bung Hatta sangat tidak sepaham dengan konsep itu, mereka selalu menyempatkan diri untuk saling berkorespondensi lewat surat. Walau banyak ketidak setujuan, selalu terjadi dialog yang bersifat apa adanya diantara kedua bapak bangsa tersebut. Mereka tidak pernah menyembunyikan apapun satu sama lain. Bahkan dialog dan debat yang bersifat apa adanya tersebut sudah dimulai sejak awal, ketika persiapan proklamasi. Sewaktu rapat BPUPKI, diperlukan debat dalam jangka waktu lama, hanya untuk menentukan apa dasar negara kita. Akhirnya, Pancasila diputuskan menjadi dasar negara. Penentuan bentuk negara Indonesia, yang merupakan republik, bukan monarki, juga merupakan simbolisme dari semangat Revolusi Perancis. Bukan kebetulan, bahwa kedua bapak bangsa kita memang dari awal tidak pernah cocok dengan konsep monarki, yang ditumbangkan oleh Revolusi Perancis.
Melihat konsepsi ini, memang benar-benar tidak mungkin mengatakan, bahwa ajaran Soekarno-Hatta adalah benar-benar ajaran lokal murni. Selain pemikiran mereka penuh warna revolusi Perancis, yang dikontekstualisasi, pemikiran mereka benar-benar berkehendak untuk mengintegrasikan Indonesia dengan dunia, bahkan kalau perlu menjadi pemimpin dunia. Bukan justru mengisolasi diri dari dunia dengan segala kekolotannya. Bercermin dari ajaran mereka, bisa disimpulkan bahwa ajaran apa adanya dan kejujuran, bukanlah semata-mata ajaran orang bule atau barat, namun merupakan bagian dari kearifan lokal, sebab pernah dipraktekkan oleh para bapak bangsa kita, yang dahulu kala mengecap pendidikan Belanda. Menjadi apa adanya, tanpa perlu bersandiwara, sebaiknya mulai dibudayakan sejak awal. Tren dunia sekarang berjalan ke era tersebut. Web 2.0, globalisasi, dan perdagangan bebas telah mengharuskan kita untuk lebih transparan dalam merepresentasikan diri kita. Era penuh sandiwara sudah sepantasnya ditinggalkan, supaya kita menjadi diri kita sendiri. Drama dan sandiwara cukuplah menjadi bagian dari tradisi teater kita yang kaya, bukan menjadi bagian hidup sehari-hari.
Melihat konsepsi ini, memang benar-benar tidak mungkin mengatakan, bahwa ajaran Soekarno-Hatta adalah benar-benar ajaran lokal murni. Selain pemikiran mereka penuh warna revolusi Perancis, yang dikontekstualisasi, pemikiran mereka benar-benar berkehendak untuk mengintegrasikan Indonesia dengan dunia, bahkan kalau perlu menjadi pemimpin dunia. Bukan justru mengisolasi diri dari dunia dengan segala kekolotannya. Bercermin dari ajaran mereka, bisa disimpulkan bahwa ajaran apa adanya dan kejujuran, bukanlah semata-mata ajaran orang bule atau barat, namun merupakan bagian dari kearifan lokal, sebab pernah dipraktekkan oleh para bapak bangsa kita, yang dahulu kala mengecap pendidikan Belanda. Menjadi apa adanya, tanpa perlu bersandiwara, sebaiknya mulai dibudayakan sejak awal. Tren dunia sekarang berjalan ke era tersebut. Web 2.0, globalisasi, dan perdagangan bebas telah mengharuskan kita untuk lebih transparan dalam merepresentasikan diri kita. Era penuh sandiwara sudah sepantasnya ditinggalkan, supaya kita menjadi diri kita sendiri. Drama dan sandiwara cukuplah menjadi bagian dari tradisi teater kita yang kaya, bukan menjadi bagian hidup sehari-hari.